Kolak Ramadhan



Tiba-tiba terlintas peristiwa belasan tahun lalu. Saat merasakan nikmat Ramadhan di tempat tugas. Ramadhan jauh dari keluarga, tak bisa meminta disediakan ini, dan itu. Segelas air putih pun, harus dituang  sendiri ke dalam gelas.

Untunglah kami berada di tengah warga yang baik hati. Warga sekitar tempat saya tinggal, perhatian sekali. Setiap sore mereka bergantian membawakan saya menu berbuka. Ada saja rantang yang diantar ke tempat kos.

Menu yang paling sering dibawakan untuk saya berbuka adalah kolak, dan aneka gorengan. Kolak sepertinya menu wajib, sudah seperti rukun berbuka. Warga kampung setiap hari menyediakan kolak untuk dinikmati bersama keluarga saat bedug magrib di tabuh. Kolak yang disantap bukan didapat dari membeli, tapi dari membuat sendiri.

Di kampung itu bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat kolak, mudah didapat. Pisang, ubi, kelapa, kolang-kaling, dan gula aren banyak tersedia. Jikapun harus mendapatkan bahan-bahan itu dengan cara membeli, harganya sangat bersahabat. Biasanya hanya gula aren yang harus dibeli, sedangkan untuk mendapatkan bahan lain, tak perlu merogoh kocek. Antar warga di sana, ada budaya saling berbagi hasil kebun sendiri.

Kolak khas Ciseel dengan santan yang kental tiba-tiba terlintas dalam fikiran ini. Manis gula aren dalam kolak, plus kolangkaling yang legit, pisang yang manis, dan ubi yang ada gurih-gurihnya, padu dalam satu mangkuk. Harum pandan pada kolak semakin menggugah selera. Jika menuruti keinginan, satu mangkuk tidaklah cukup. Tapi keinginan itu harus ditahan, makan berlebih, bisa membuat perut ini tak nyaman.

Ini Ramadhan pertama tidak berbuka di Ciseel atau Cigaclung. Berbuka kali ini selalu bersama keluarga. Rindù dengan kolak khas kampung itu, tak bisa terobati. Meminta istri membuatkan kolak serupa, hanya membuat hati semakin rindu dengan kampung itu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kembali Menanyai

Bertani Dimasa Pandemi