lomba OSN


Lilis ini bapak ceritakan waktu lomba OSN di SMPN 2 Sajira.

Bapak sudah meracik secangkir kopi. Kopi pahit yang biasa dibuat untuk dapat mengingat peristiwa lampau.

Lilis bantu ya. Nanti dibaca, jika salah diluruskan ceritanya. Bapak hanya menulis apa yang masih tersimpan di memori kepala.

Dimulai dari mana ya?.
Kan ceritanya panjang, khawatir bosen bacanya. Tapi dicoba saja ya.
Cerita coba dimulai dari seleksi hingga usai pelaksanaan ya.

Seleksi OSN, O2SN, dan FLS2N dilaksanakan hampir bersamaan. Nilai hasil seleksi OSN, Asep dan Lilis sama. Karena sama, bapak minta Asep mengalah. Asep diminta ikut FLS2N. Dan ia mengiakan.

Karena OSN lebih berat dan bergengsi, maka peserta yang mengikuti harus dilatih intensif. Karena latar belakang bapak di SMA jurusan IPA, maka bapak menawarkan diri untuk jadi pembimbing peserta OSN IPA. Dalam hal ini menjadi pembimbingnya Lilis.

Sempat khawatir tak disetujui oleh bapak kepala sekolah untuk membimbing mapel IPA, tapi alhamdulillah,  pak Asikin setuju. Dari sejak itu, bapak dan Lilis buat jadual bimbingan. Di hari yang disepakati, siang hari Lilis datang ke selolah. Kitapun berlatih. Yang bapak ingat, benerapa kali Lilis mengenakan kaus tangan panjang bergaris melingkar. Rok yang dikenakan warna merah. Latihan kadang dikelas, bersama dengan yang lain. Kadang di ruang guru, ketika mapel lain tak ikut latihan.

Selain Lilis pada mapel IPA, ada Sani Devita peserta mapel IPS. Kemudian ada Nurhadi peserta pada mapel Matematika. Sani dan Lilis lebih sering berlatih, sementara Nurhadi jarang sekali. Mas Naryo yang ditugaskan membimbing Nurhadi jarang sekali datang.

Seneng sekali jadi pembimbing Lilis, karena materi yang bapak sampaikan bisa diserap dengan baik. Beberapa simulasi yang dilakukan dengan aplikasi CBT di komputer, bisa Lilis selesaiakn dengan baik. Sejak awal latihan hingga menjelang perlombaan, progres pencapaiannya luar biasa.

Bapak sempat optimis. Bersama pak Abduh bapak yakin, wakil Stisob dapat masuk peringkat 5 besar. Terutama pada mata lomba IPA dan IPS. Bagi kami pembimbing, juara tak terlalu penting. Karena berat mengalahkan sekolah-selolah yang ada di kota. Target kami adalah bisa mengalahkan sekolah-sekolah yang ada di wilbi 3. Bahagia jika bisa mengalahkan mereka. Puas rasanya bisa ngebully guru dari sekolah besar di wilbi 3.

Ketika hari perlombaan, kita berlima berangkat dari sekolah. Waktu itu cuaca hujan. Sangat deras sekali. Karena waktu semakin mepet, akhirnya kita tetap berangkat. Waktu itu Lilis mengenakan celana jeans hitam agak ketat. Sani sepeetinya mengenakan model celana yang sama.

Lilis posturnya agak tinggi, Sani badannya agak berisi. Keduanya tampak lebih dewasa dari usianya. Seperti membonceng anak SMA, padahal harita keduanya baru kelas 2 SMP.

Pak Dadang membonceng Lilis, Sani dibonceng oleh pak Abduh. Hadi membawa motor sendiri. Sempat khawatir Lilis memilih dibonceng Hadi, tapi Alhamdulillah, Lilis memilih dibonceng pak Dadang. Senang sekali rasanya bisa membonceng Likis.

Terpaksa menembus hujan agar tak terlambat hadir di acara perlombaan. Sepanjang perjalanan menuju Muncang hujan tak kunjung reda. Dingin sekali. Terutama bapak yang mengemudikan kendaraan, karena posisinya di depan. Yang dibonceng mungkin tidak, karena tak terkena langsung tiupan angin dari depan.

Akhirnya sampai juga di rumah pak Asikin. Pakaian basah ka jero-jero. Pasti bisa membayangkan, betapa dinginnya kala itu.

Pakaian salin yang dibawa dikeluarkan. Kemudian dibawa masuk ke kamar mandi, untuk mengganti pakaian yang basah.  Bergantian kami masuk ke kamar mandi. Setelah semua salin dengan pakaian yang dibawa kami bersiap.

Rencana mas Naryo yang akan mengantar ke acara lomba. Menggunakan Daihatsu Xenia miliknya. Tetapi ia terlambat datang. Kebiasaan lama mas Naryo terlambat terulang kembali.

Hampir 40 menit menunggu mas Naryo. Ia tak kunjung datang. Pak Asikin nampak gelisah. Beberapa kali ia menggerutu. Aura marah tak bisa ia tutupi.

Karena tak kunjung datang, pak Asikin berinisiatif. Ia mengeluarkan mobil Daihatsu Feroza nya. Mobil tua dengan suspensi yang keras. Jika melewati jalan jelek, perut serasa dikocok.

Mesin dinyalakan, setelah beberapa menit,  mobilpun dimundurkan. Keluar dari garasi, dan kami diminta untuk naik. Pak Asikin nampak terburu-buru. Khawatir terlambat, atau jengkel dengan mas Naryo yang terlambat datang. Sepertinya ia agak marah dengan mas Naryo. Nada kalimat yang diucapkan seperti marah dengan si mas.

Baru beberap meter berangkat, mas Naryo datang dengan kendaraannya. Pak Asikin nampak tak menghiraukan. Ia terus saja menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Mas Naryo balik arah, ia mengikuti kami dari belakang.

Pak Asikin terus mempercepat laju  kendaraannya. Sani mulai oleng. Ia mulai membalurkan minyak kayu putih yang dibawa. Hadi juga sama. Hanya Lilis yang sepertinya masih bertahan.

Setelah hampir 1 jam perjalanan kami serombongan sampai di SMPN 2 Sajira, tempat lomba itu diselenggarakan. Pak Dadang dan pa Abduh mencari ruang lomba. Tak ada kendala dalam mencari ruang, semua ruang lomba bisa ditemukan dengan cepat.

Tak lama bel tanda lomba dimulai terdengar dibunyikan. Peserta mulai mengerjakan soal.

Selama lomba berlangsung, kami menunggu diluar kelas. Berbincang dengan para pembimbing dari sekolah lain. Acara itu biasa kami gunakan untuk reuni. Reuni dengan teman guru yang seangkatan  dari sekolah lain.

Lomba usai, kami berkumpul. Kemudian kami semua sepakat, menuju warung bakso yang ada dekat komplek tentara DIKLATPUR. usai lomba kami menikmati semangkuk bakso yang lezat. Pa Dadang memperhatikan Sani dan Lilis dari kejauhan.

"Budak urang teu eleh geulis ti nu di kota" ujar pak Abduh. Pak Dadang mengngguk mendengar ucapan pa Abduh, tanda setuju.

Usai menikmati bakso, kami bergegas menuju Muncang. Kembali ke Muncang tak naik Feroza pak Asikin, tetapi naik Xenia mas Naryo. Pak Asikin ada rapat para kepala sekolah. Ia tak bisa pulang bersama kami.

Sani dan Nurhadi nampak ripuh mabuk kendaraan. Lilis nampak lebih bertahan, meski pada akhirnya Lilispun sama. Ia mengeluarkan mie bakso yang dinikmati di Sajira sesaat setelah menginjakan kaki didepan Alfa dekat kantor Koramil Muncang.

Kami semua pulang menuju rumah masing-masing. Pa Dadang pulang ke Parung. Pak Abduh ke Jasinga. Lilis, Sani, dan Nurhadi pulang menuju Cigaclung.

Sebelum pulang, pa Dadang menitipkan baju dan celana basahnya kepada Lilis. Meminta Lilis menyerahkan pakaian basah itu ke ka Marin untuk dicuci.

Senin pagi pa Dadang sudah sampai di Sekolah. Ketika pa Dadang sedang duduk dibangku kerjanya, Lilis datang menghampiri. Lilis menyerahkan baju dan celana pa dadang yang waktu itu kotor dan basah. Kali ini pakaian itu sudah kering, bersih dan dilipat rapi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolak Ramadhan

Kembali Menanyai

Bertani Dimasa Pandemi