Menyantap Liwet



Ketika jam istirahat, Serly dengan beberapa teman lain menemui wali kelasnya di ruang guru. Tujuannya mengajak wali kelasnya, pak Dian Muharomi untuk ikut ngaliwet di sisi sungai. Dalam pertemuan itu pak Dian menyatakan siap mengikuti kegiatan ngaliwet yang mereka usulkan. Waktupun disepakati, kekegiatan ini dilaksanakan selepas pulang dari sekolah.

Akhir pembelajaran di tutup dengan shalat berjamaah di musollah. Berjamaah zuhur merupakan kegiatan rutin yang diikuti oleh seluruh siswa dan siswi. Shalat dilaksanakan dengan khusu. Usai melaksanakan sholat, siswa kelas 9 berkumpul di depan ruang guru untuk berdiskuai teknik pemberangkatan menuju sisi sungai Ciminyak. Pak Dian ikut berdiskusi, ia membagi tugas kepada siswa yang ikut dalam kegiatan ngaliwet ini.

Diskusi usai, peserta membubarkan diri. Pak Dian menuju ruang guru untuk bersiap. Tak lama ia keluar,  kemudian menuju Honda Vario hitam yang terparkir ia depan ruang guru. Motor dinyalakan. Mesin mulai panas. Dirasa cukup, ia langsung tancap gas menuju sisi sungai Ciminyak yang berada di kampung Cireundeu Desa Sobang.
Ii
Menuju lokasi harus melewati jalan yang menanjak, dan menurun. Ini mengharuskan kendaraan dalam kondisi prima. Sangat berbahaya jika kendaraan tak kuat melewati jalan menanjak. Atau bisa fatal jadinya ketika menemui jalan menurun, sementara rem tidak berfungsi dengan baik.

Setelah beberapa belas menit berkendara, Pak Dian sampai di kampung Cireundeu. Berhenti di sisi jalan, lalu memarkirkan kendaraannya. Pak Dian menuju rumah Serly untuk mengecek persiapan ngaliwet. Rencana mereka akan ngaliwet di sisi sungai Ciminyak. Tetapi karena khawatir repot, rencana dirubah. Ngaliwet dilakukan di rumah Serly, setelah masak, dibawa ke sisi sungai untuk mereka nikmati bersama.

Selama menunggu nasi liwet masak, Pak Dian berkunjung ke rumah salah satu siswa kelas 9. Namanya Adih, ia sedang terbaring sakit. Pak Dian mengetuk pintu lalu mengucapkan salam. Dari balik pintu seseorang menjawab salamnya. Pintu dibuka, rupanya yang membuka pintu itu nenek dari Adih. Pak Dian dipersilahkan masuk.

Pak Dian mengikuti sang nenek menuju tempat Adih berbaring. Benar saja, Adih sedang berbaring lesu di atas kasur. Kasur dekat dapur rumahnya. Pa Dian duduk di lantai dekat kasur. Tepat sejajar dengan bagian kepala Adih. Setelah beberapa saat duduk, dahi Adih dipegannya, menggunakan telapak tangan, kemudian menggunakan bagian belakang telapak tangan. Ini dilakukan untuk memastikan seberapa panas tubuh Adih. Tangan bagian belakang memiliki kulit yang lebih tipis, hingga akan lebih peka untuk mendeteksi panas tubuh Adih.

Mungkin Adih Typus, atau mengalami  radang, hingga badanya panas. Pak Dian menyarankan untuk meminum air rebusan cacing. Rebusan cacing adalah obat tradisional. Tidak perlu dosisi khusus, obat ini tak akan bereaksi negatif pada tubuh.

Pak Dian menanyai kondisi Adih. Bagian tubuh mana lagi yang dirasakan sakit olehnya. Ia hanya menjelasakan bahwa dirinya  sering merasa demam, mual, dan tak ada selera makan.

Setelah beberapa lama berbincang, Pak Dian mohon diri untuk pergi. Ia akan  melanjutkan kegiatan ngaliwet bersama siswa kelas 9.

"Cepat sembuh ya Adih." Ucap Pak Dian sebelum ia beranjak.

===========     = ========   =========

Saung bilik nampak bersih. Ukurannya relatif kecil. Luas balai bambunya hanya sekitar 2x3 M². Sisi kiri, kanan, dan belakang ditutup bilik. Bagian depan dibiarkan terbuka. Ada peralatan masak di saung itu, disimpan di bagian atas. Ada kastrol, sendok, dan gelas plastik. Kayu bakarpun tersedia, menumpuk di sisi kanan saung. Meski kecil, saung nyaman sekali. Letak saung berada di sisi sawah. Saung yang selalu jadi tempat istirahat setelah seharian sang pemilik mencangkul sawahnya.

Sawah yang beberapa pekan lalu selesai dipanen. Sekarang sedang dirapikan, dan akan segara disemai kembali.

Dua petak sawah di bawahnya berbatasan dengan sungai. Sungai Ciminyak yang jernih. Jernih karena dua hari kebelakang tak turun hujan. Air akan keruh jika hujan lebat turun di bagian hulu sungai.

Dua lembar daun pisang hijau dan segar dihamparkan tepat di depan saung. Nasi liwet diletakan memanjang sepanjang daun pisang. Sambal, ikan asin, kerupuk, dan lalab diletakan diatas nasi panas yang masih mengepulkan asap.

Setelah siap, semua menyerbu nasi, lauk, lalab, dan kerupuk. Sambal yang pedas, menambah sensasi makan bersama siang itu. Banyaknya nasi pas dengan jumlah peserta yang mengikuti kegiatan ini, hingga menu liwet ludes tanpa sisa. Nampak semua kenyang sekali.

Tak lama, mereka menceburkan diri ke leuwi sungai. Diikuti oleh hampir semua peserta. Menceburkan diri ke sungai sesudah menyantap liwet sudah menjadi tradisi. Mereka sangat riang menikmati suasana mandi di sungai. Pak Dian hanya mengawasi mereka dari sisi. Jangan sampai ada hal yang tidak diinginkan terjadi.

Mandi di sungai seperti ini sudah sejak lama dilakukan. Tak hanya angkatan Sherly, dahulu kaka kelas Sherly yang sekarang sudah luluspun melakukan hal ini.

Pak Dian terus mengawasi, sesekali tatapannya nampak kosong. Mungkin ia sedang mengingat peristiwa silam, kala angkatan jauh sebelum Serly mengikuti acara yang sama. Sekarang anak itu sudah SMA, atau bahkan sudah kuliah dan menikah. Meski sudah lama, yakin bayangan itu masih melekat di benak mereka.

Ia nampak tersenyum, pandangannya terus ke arah muridnya yang sedang bermain air bersama di Leuwi Karang. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolak Ramadhan

Kembali Menanyai

Bertani Dimasa Pandemi