Nur Part 1

Waktu menunjukan pukul 10.30. Cuaca terasa terik meski hari belum terlalu siang. Nur sudah berada di sudut taman itu. Taman dengan ratusan bunga-bunga yang bermekaran. Sekeliling mata memandang, hanya ada keindahan warna-warni bunga.

Di bawah pohon rindang yang teduh, Nur duduk beralaskan tikar. Hari ini ia berjanji untuk bertemu dengan teman-teman semasa SMAnya dulu. Nur nampak asyik berbincang, melepas rindu sambil membuka memori yang sudah tersimpan lama. Saling membuka lembaran yang hampir terkubur, atau usang termakan waktu. Gelak tawa mengiringi obrolan mereka, tampak riang sekali. Tak lama tawa itu berubah, menjadi hening. Nampak terpancar rona merah pada wajah Nur. Di tengah obrolan, raut Nur menunjukan kesedihan. Nur nampak sedih di ujung ceritanya.

Bahagia dan sedih selalu di hadapakan dalam hidup ini. Tak mungkin sepanjang waktu seseorang terus menangis. Tak akan juga selama hidupnya seseorang terus tertawa. Ini seseuatu yang pasti datang, dan harus selalu dihadapi. Tawa dan sedih bukan untuk dihindari. Dijalani dengan sabar, maka kesedihan akan jadi sebuah harapan. Kelak bisa saja sedih berubah menjadi tawa. Atau tawa renyah yang hadir, suatu waktu akan bergiliran, berubah menjadi sedih yang dalam.

Ketika SMA dulu, Nur punya seorang kekasih, Syarif namanya. Mereka tak hanya ada di dalam kelas yang sama. Keduanya duduk di bangku dengan meja yang sama. Kedekatan keduanya dimulai sejak sama-sama menjadi siswa baru di SMA itu. Bukan hanya satu kelas, satu sekolah tahu, Nur adalah kekasih hati Syarif.

Ia selalu berdua, sejak pagi hari ketika sampai di kelas, hingga waktunya bel pulang dibunyikan. Keduanya selalu bersama, makan di kantin berdua, mengerjakan tugas juga berdua. Keseharian mereka, ya berdua. Kekompakan mereka tak tertandingi oleh pasangan manapun di sekolah itu.

Nur cantik, matanya bulat, dan kulitnya halus. Warna kulitnya yang tak terlalu putih, cendrung gelap, hingga membuat ia tampak lebih manis.

Bicaranya tegas, tertata rapi, ia selalu menatap tajam lawan bicaranya. orang yang berbicara dengannya akan terbawa alur. Orang tak akan bisa menggelengkan kepala, jika dalam pembicaraan Nur menginginkan orang itu mengangguk.

Begitu pula dengan Syarif, ia pemuda tampan. Meski ia nampak kurus. Tinggi badanya 175cm. Tinggi ideal bagi orang Indonesia. Ia cerdas, cekatan, dan jago olahraga. Olahraga yang digemarinya adalah sepakbola. Posisi yang biasa ia tempati adalah libero, pemain belakang yang sulit dilewati striker lawan.

Tak terasa, kedekatan mereka hampir 3 tahun lamanya. Waktu sepanjang itu terasa amat singkat bagi keduanya. Rasanya baru kemarin mereka bertemu, ketika masa orientasi. Pita merah yang disematkan di rambut Nur, dan kantung plastik yang di beri tali, lalu digunakan sebagai tas kegiatan. Ternyata peristiwa itu sudah lama, hampir tiga tahun lalu.

Jelang akhir masa sekolah, keduanya menguatkan komitmen. Saling berjanji akan setia, dan mempersiapkan masa depan untuk kehidupan mereka kelak. Tibalah saat mereka harus lulus dan pergi dari sekolah itu. Gedung megah yang disewa untuk acara perpisahan itu menjadi saksi bahwa raga Nur dan Syarif berpisah. Adalah hati dan jiwa mereka terus bersatu.


"Mamah, Papah, ini Nur, teman Syarif". Ucap Syarif ke orangtuanya.

Kedua orang tua Syarif hadir, menyaksikan kegiatan terakhir anaknya di sekolah. Kehadiran orang tuanya, dimanfaatkan oleh Syarif untuk memperkenalkan Nur.
Syarif tak mungkin membawanya ke rumah, untuk memperkenalkan Nur kepada mamah dan papahnya. Syarif masih terlalu kecil untuk sebuah hubungan yang serius.

Dalam perpisahan itu Nur nampak cantik. Kebaya warna cerahnya terlihat kontras dengan warna kulitnya. Model kebaya yang dipilihpun modern. Sehingga dengan Syarif yang mengenakan jas hitam disapingnya, terlihat amat serasi. Syarif mengenakan jas, celana, dan sepatu berwarna hitam. Hanya kemeja saja yang berwarna putih. Ia tak mengenakan dasi, dua kancing paling atas kemeja putihnya sengaja dilepas, ia nampak macho sekali.

Setelah perpisahan itu, mereka tak bisa selalu bertemu. Nur mulai sibuk dengan mengurus kuliahnya. Ia ingin menjadi guru katanya. Begitu pula dengan Syarif, ia mengambil jurusan komputer. Kesukaannya dalam bidang IT, membuat ia tak ragu mengambil jurusan itu untuk hidup di masa depannya.

Sepekan sekali Syarif menyempatkan diri untuk melepas rindu. Rindu pada Nur kekasihnya. Sabtu malam ia selalu datang ke rumah Nur, berjumpa berharap rasa cintanya terus terawat.

Hari demi hari mereka lalui. Suka dan duka dalam menjalani hubungan, mereka lewati bersama. Tak terasa, sebentar lagi mereka lulus dari bangku kuliah. Waktu begitu singkat, rasanya baru kemarin lulus SMA, Sekarang akan segera lulus kuliah.

Ketika Nur wisuda, Syarif datang dengan membawa segenggam bunga. Mendampinginya, dan berfoto bersama. Begitupun sebaliknya, ketika Syarif di wisuda, Nur datang. Berfoto bersama Syarif, dan keluarganya. Syarif sudah begitu dekat dengan keluarga Nur, begitu pula dengan Nur, ia sudah sangat dekat dengan mamah, papah, dan adik-adik Syarif.

Keduanya sangat bahagia. Bisa lulus kuliah di waktu yang hampir bersamaan. Nur mulai berfikir untuk bekerja. Nur mulai membayangkan masa depannya bersama Syarif. Begitu pula dengan Syarif, ia mulai berfikir untuk bekerja, bersiap untuk masa depannya. Berfikir untuk membina kehidupan bersama perempuan yang sudah 7 tahun lalu ia kenal. Sejak keduanya masih sangat belia, saat mereka berdua masih usia belasan tahun.

Tak butuh waktu lama, Nur sudah mendapat pekerjaan. Bukan menjadi guru meski ia kuliah pada jurusan keguruan, Nur menjadi karyawan di sebuah perusahaan.

Sebuah perusahaan advertising menerima ia sebagai karyawan. Sebagai pekerja baru, gajinya tidak besar, hanya bisa menutupi kebutuhan hariannya. Setelah 3 bulan bekerja, barulah gajinya disesuaikan. Ada kenaikan, karena ia sudah melewati masa training.

Syarif belum juga mendapatkan pekerjaan. Ia masih sibuk membuat surat lamaran. Entah sudah berapa bundel berkas lamaran yang ia kirim ke perusahaan-perusahaan, tak ada satupun yang cocok. Ada yang karena gaji, fasilitas, atau jarak.

Nur ingin Syarif menerima pekerjaan-pekerjaan itu. Yang penting masuk dulu bekerja, dan punya status sebagai karyawan. Setelah bekerja, barualah menunjukan bakat, dan loyalitas kepada perusahaan.

"Penghasilan itu hakekatnya kita yang menentukan, bukan perusahaan" ucap Nur di sebuah kesempatan.

"Ketika profesional dan menguntungkan perusahaan, maka berapapun nominal gaji yang kita usulkan, pasti akan dipenuhi" sambung Nur.

Syarif hanya diam, tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Nur mulai tak sabar dengan sikap Syarif yang menutup diri atas pekerjaan. Sepertinya Nur harus lebih keras mendorong Syarif untuk bekerja.

Satu bulan ini sudah dua kali mamahnya Nur menanyakan kabar Syarif. Menanyakan kabar adalah kode keras. Karena mamah sebenarnya selalu bertemu Syarif, saat Syarif berkunjung ke rumah Nur di Sabtu malam. Jadi menanyakan kabar Syarif bukan sekedar menanyakan, ada maksud lain di balik itu.

"Mah, aku selalu meminta Syarif untuk bekerja, bahkan aku meminta ia bekerja apa saja, yang penting ia bukan pengangguran" ucap Nur kepada mamahnya.

Usia Nur sudah 24 tahun, mamah ingin Nur segera menikah. Menikah dengan laki-laki yang sudah bekerja. Bukan dengan laki-laki yang tak punya penghasilan, meski ia putra dari orang berada.

"Tujuh tahun aku mengenal Syarif, sekarang mamah meminta kami berpisah?" Nur duduk bersimpuh dihadapan mamah. Meminta mamah untuk menunggu, 

"Nur akan memohon kepada Syarif untuk ia mau bekerja, bekerja apa saja mah." Bekerja demi cinta mereka, bekerja untuk mendapat restu mamah.

Suatu pagi yang cerah, jelang Nur berangkat untuk bekerja.

"Mamah tak pernah keberatan kalian saling mencinta, mamah hanya ingin calon suamimu sudah bekerja, sudah punya penghasilan." Mamah duduk di depan Nur yang sedang sarapan di meja makan.

"Mamah tak mau setelah kalian menikah, kamu pandai beracting. Acting menutupi rasa lapar" mamah menyodorkan segelas air putih hangat ke hadapan Nur yang hampir selesai sarapan.

"Cukup mamah yang pernah merasakan itu dulu, anak mamah tak boleh menderita seperti mamah" mamah bangkit, melangkah mengantar Nur yang selesia sarapan, dan hendak berangkat untuk bekerja. Langkah mamah terhenti ketika keduanya sampai gerbang rumah.

Nur mencium tangan mamah, kemudian melambaikan tangan ke arah mamah. Berjalan menuju mulut gang, di sana ada halte, Nur naik kendaraan umum menuju kantor dari halte itu.

Di kantor, Nur banyak berdiam. Berucap seperlunya, tak ada lagi canda, atau tawa.

"Apakah cinta ku akan berakhir" ucap Nur dalam hati.

Tak boleh, aku harus terus bersama. Kelak kami harus tinggal, dan mengurus anak-anak kami bersama. Ya, tinggal di rumah besar yang indah dengan cinta. Aku harus terus bersama Syarif, sampai kapanpun aku harus bersama Syarif.

Bayangan mamah terlintas, ucapannya kembali hadir dalam ingatan Nur. Meyakinkan Syarif untuk menerima pekerjaan apa saja harus kembali dicoba. Karena syarat dari mamah untuk mendapatkan restunya tidaklah berat, hanya Syarif harus kerja. Bekerja adalah syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak menikah. Tanggung jawab menafkahi istri, dan kewajiban membahagiakannya jadi sebab mengapa laki-laki harus bekerja.

Keseharian Syarif hanya di sekitar rumah. Mengurus tanaman di halaman, dan pekerjaan rumah lainnya. Sore hari ia berolahraga, bermain sepakbola di lapangan yang tak jauh dari rumahnya. Malam hari keluar seperlunya, tak nongkrong hingga larut malam. Urusan sholat 5 waktu ia termasuk paling rajin dibanding kakak, dan dua adiknya. Sebenarnya Syarif anak yang baik, tidak ada prilaku buruk seperti kebanyakan pemuda lainnya.

Nur masih dengan aktifitasnya di kantor. Sepertinya hari ini ia akan pulang terlambat. Biasanya ia sampai di rumah pukul 17.00. Tetapi hari ini bisa jadi malam hari ia baru akan sampai di rumah. Pekerjaan hari ini sedang menggunung, karena beberapa tender dimenangkan perusahaan tempat Nur bekerja.

Jam 19.00 pekerjaan baru selesai. Nur bersiap untuk pulang. Ia tak terbiasa pulang kerja semalam ini. Biasanya ia sudah duduk santai di ruang keluarga sambil menonton tv, tetapi malam ini ia baru akan menuju ke rumahnya.

Karena tak terbiasa pulang dari kantor semalam ini, Nur diantar oleh Rizal. Rizal tidak satu kantor dengan Nur. Dia adalah karyawan perusahaan yang menjadi rekanan kantor tempat Nur bekerja. Rizal sering sekali datang ke kantor Nur untuk urusan pekerjaan. Karena sering bertemu, Nur menjadi akrab dengan Rizal.

Suatu hari Nur dibonceng Rizal untuk diantar pulang ke rumahnya. Cuaca yang mendung membuat Rizal tak lantas pulang. Mereka asyik berbincang di teras rumah Nur, hingga haripun gelap. Di perbincangan itu Rizal banyak bercerita, termasuk kisah kehidupan pribadinya.

Kedekatan mereka diketahui Syarif. Nur sempat pula bercerita tentang temannya itu kepada Syarif. Nur menginginkan itu, ingin kedekatannya bersama Rizal diketahui Syarif. Nur berharap Syarif cemburu dan segera melamarnya. Jika ingin melamar, maka Syarif harus bekerja. Syarat yang simpel dan sederhana.

"Jika kamu memilih Rizal, aku rela" ucap Syarif.

"Aku tak bisa memintamu untuk sabar menungu" Syarif sepertinya pasrah.

"Bukan itu yang aku minta Syarif, aku ingin komitmen kamu." Nada bicara Nur agak meninggi, ia nampak marah bercampur sedih, Matanya berkaca-kaca.

Harapan Nur tak berbanding lurus, Syarif malah menyerah, meminta Nur memilih Rizal sebagai calon suaminya.

Nur terdiam, alam fikirannya menuju masa lalu. Masa ketika ia pertama kali saling pandang dengan kekasihnya. Bertemu Syarif di sekolah pada masa orientasi siswa. Syarif yang kala itu beranjak remaja. Syarif yang kurus tinggi, lebih tinggi dari teman-teman sekelasnya. Syarif yang tampan, yang memikat hati Nur.

"Syarif tak mungkin membenci ku" Nur masih melamun.

"Aku yakin ia masih mencintai ku" ucap Nur lirih.

Nur yakin, Syarif masih mencintainya. Tak mungkin Syarif membencinya. Tapi entah mengapa ia bisa seperti itu. Tak mau memperjuangkan hubungan yang telah lama dibina.

Mamah meminta Nur segera menikah.

"Mamah sudah bicara dengan Rizal, mamah menanyakan keseriusannya dengan kamu Nur" serasa tersambar petir Nur mendengar ucapan mamah.

Nur hanya diam, ia tak tau apa yang harus diucapkan kepada mamah. Ia bingung, sedih, dan marah.

Bingung harus kepada siapa ia berbagi masalahnya. Ia terlalu berharap kepada Syarif. Apapun masalah yang terjadi padanya, solusinya ada pada Syarif. Syarif selalu menenangkan kala ia menemukan masalah. Sedih sekali hatinya, hubungan yang lama dibina, harus berakhir seperti ini. Ingin rasanya ia marah kepada Syarif, tapi entahlah, Nur tak tau apakah Syarif pantas dimarahi karena ini.

Rizal baik, tapi tak sebaik Syarif. Tetapi restu mamah yang utama dalam perjalanan yang fana ini. Menerima Rizal dengan restu orang tua, atau menunggu Syarif yang tak tahu hingga samapai kapan.

Mamah ingin sekali Nur segera menikah. Mendesak Nur agar mau menerima Rizal. Nur tak bisa menolak, ia memenuhi permintaan mamah, meski berat. Meski hancur, ia masih berfikir positif. "Sebagai anak, aku hatus berbakti kepada mamah".

Beberpa pekan lagi Nur akan menikah, pesta meriah mulai dipersiapkan. Semua keluarga menyambut dengan gembira pesta pernikahan itu, kecuali mempelai perempuan.

Nur masih menampakan kesedihan. Ucapan "selamat" yang keluar dari bibir Syarif membuat hatinya semakin sedih. Pelaminan harusnya tempat yang paling membahagiakan. Tetapi tidak dengan Nur.

Pesta usai, Nur tak langsung bangkit dari kursi pelaminan, masih duduk dengan handphone di tangannya. Ia mencari kontak Syarif, segera menghapusnya setelah ditemukan. Lusa ia akan datang ke konter. Ia akan mengganti nomor kontaknya. Akan mengubur segala kenangan yang ada dari nomor kontaknya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolak Ramadhan

Kembali Menanyai

Bertani Dimasa Pandemi