Yang Dibutuhkan (bukan hanya) Motivasi



Beberapa belas tahun lalu saya bersama istri, dan putri pertama kami sengaja datang ke bioskop untuk menonton film. Film yang sangat menginspirasi banyak guru di Indonesia. Film itu berjudul Laskar Pelangi. Film dengan seting akhir tahun 70an. Film ini mampu menyedot jutaan penonton.

Kala itu putri pertama kami belum genap 5 tahun. Itu pengalaman pertamanya masuk ke dalam bioskop. Ruangan dingin dengan kursi merah yang tersusun rapi. Anak tangga dengan lampu menyala di bawahnya sangat menarik perhatiannya. Ia menapaki satu persatu anak tangga dengan riangnya, sesekali ia menanyai apa saja yang dilihatnya di dalam ruangan itu. Tempat yang baru pertama kali ia sambangi.

Satu persatu penonton masuk, masing-masing mencari nomor kursi yang sesuai dengan nomor pada ticketnya. Setelah menemukan kursi dan yakin, barulah mereka menghempaskan diri di kursi merah itu, merekapun duduk. Banyak diantara mereka membawa serta anaknya. Sehingga ruang bioskop nampak ramai dengan suara anak-anak.

Beberapa datang dengan rombongan. Sepertinya mereka adalah guru dari satu sekolah. Terlihat dari pakaian yang dikenakan, juga keakraban diantara mereka. Obrolan yang diselingi dengan canda tawa sesekali jelas terlihat. Sebagai guru, mereka harus banyak menimba pengalaman dari orang lain. Termasuk bu Mus, tokoh guru perempuan yang ada di film itu.

Dari sekian banyak penonton, tak nampak ada yang datang bersama kekasihnya. Memang, film box office kurang diminati untuk ditonton oleh pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta. Tak tau apa penyebabnya, tetapi seperti itu faktanya.

Film akan diputar, sebelumnya penonton disuguhkan dua trailer film yang akan beredar di jaringan bioskop 21. Satu buah  film action Hollywood, dan satu film lokal. Usai trailer diputar, film Laskar Pelangipun segera dimulai.

Keseruan bukan hanya ada dalam film yang sedang tayang di layar.  Banyaknya anak-anak yang ikut dengan orangtuanya menonton, membuat suasana bioskop berbeda, tidak seperti biasanya. Beberapa anak-anak yang ikut menonton, mulai merasa bosan. Satu, dua dari mereka ada uang menangis.jika sudah begini, Bapak dan ibu harus mengambil keputusan untuk pulang ke rumah lebih awal. Putri sayapun merasakan hal yang sama, tetapi saya coba untuk ia tetap bertahan. Pop corn yang kami bawa kedalam bioskop jadi penawar rasa bosannya. Sesekali ia turun dari pangkuan saya, menjauh dan duduk di anak tangga bersama anak-anak lainnya. Mereka terlihat akrab, meski baru pertama kali bertemu. Akrab bercanda, meski dalam pekatnya bioskop.

Sudah lama sekali rasanya saya menonton film itu. Banyak yang tak ingat dari jalan ceritanya. Tetapi tema dan kesan dari film itu masih tetap melekat dan terasa. Para pemainnyapun sudah tak bisa saya sebutkan namanya, meski wajahnya masih teringat. Hanya Cut Mini dan Lukman Sardi saja yang masih bisa saya sebutkan namanya. Aktor dan aktris lain tak lagi bisa. Cut Mini cantik, jadi saya tetap ingat wajah dan namanya. Sejak remaja ia kerap tampil di layar kaca. Menjadi bintang sinetron dan bintang iklan beberapa prodak. Lukman Sardi jago acting, main dalam beberapa film yang pernah saya tonton. Saya sangat menikmati actingnya ketika ia bermain dalam film Sang Pencerah.



Pagi ini saya bersiap untuk mengajar. Sudah berpenampilan serapi mungkin. Baju yang sudah disetrika semalam, saya kenakan pagi ini. Deodoran rexona roll on yang selau disimpan di laci meja sudah saya oleskan pada titik yang mesti diolesi. Saya akan mengajar di depan murid-murid hebat di depan kelas, hingga saya harus berpenampilan rapi pagi ini.

Satu jam sebelum bel masuk dibunyikan, mereka sudah tampil di sekolah. Kebiasaan yang baik, jarang ada siswa terlambat di sekolah kami. Kesempatan itu selalu saya gunakan untuk berbincang. Kesempatan berbincang yang jarang saya gunakan untuk membahas pelajaran. Saya selalu membahas tema lain. Bercerita tokoh hebat dunia. Menceritakan begitu paiwainya Khalid bin Walid memimpin perang, sabarnya Muhammad Al Fatih yang berusaha merebut Konstantinovel dari genggaman Byzantium. Juga menceritakan tokoh nasional seperti Natsir, Agus Salim, Hamka, Soekarno, dan tokoh yang lainnya.

Mencerirakan sejarah tokoh adalah usaha untuk memompa semangat juang mereka. Mereka harus berusaha supaya bisa seperti tokoh hebat yang diceritakan ltu. Jika ada keinginan kuat untuk menjadi pintar pada diri mereka, tak harus susah payah menjejalinya materi. Mereka akan mencari sendiri supaya faham dan berpengetahuan.

Saya banyak menyampaikan bahwa mereka harus punya keinginan tuk membanggakan orang tuanya, membangun desa tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Desa mereka tak boleh terbelakang dalam SDM.

Mereka semangat ketika saya menyampaikan itu, tetapi ketika pulang ke rumah, mereka menghadapi kenyataan. Beberapa dari keluarga mereka tak mampu mewujudkan harapannya.

Sudah lama saya tak menitipkan uang. Sekedar untuk jajan satu dari mereka yang tinggal di kobong sambil sekolah di SMA. Kadang merasa bersalah, mendorong mereka dengan moril, tak diimbangi dengan materil. Seperti menyuruh mereka berperang, tetapi tak melengkapinya dengan pedang yang tajam. Hanya  doa yang dipanjatkan, doa agar mereka bisa selamat. Doa semoga mereka bisa membuat lawan-lawannya bertekuk lutut.

Cerita dalam film Laskar Pelangi ada dalam kehidupan nyata anak-anak kami yang tinggal di gunung. Mereka melanjutkan ke SMA nan jauh di dekat kecamatan, hanya bermodalkan semangat. Selepas SMA mereka berhasil duduk di bangku kuliah. Kulaih yang harusnya fokus belajar, tetapi masih harus berfikir bagaimana cara mendapatkan penghasilan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolak Ramadhan

Kembali Menanyai

Bertani Dimasa Pandemi