Commuter Line



Sore itu bergegas menuju Stasiun Rangkasbitung. Setelah seharian berada di acara Lokakarya 2 CGP  angkatan 6. Saya membonceng sepeda motor teman sesama pesarta yang hendak pulang. Kebetulan jalan menuju rumahnya melewati stasiun.

Dari tempat parkir kendaraan roda dua, ia menuju saya yang sedang menunggunya. Saya diminta naik di belakang dan berpegangan erat. Tancap gas, setelah melalui pintu gerbang sekolah tempat kami mengikuti lokakarya. Menyusuri jalan Komdik. Beberapa kelokan dilalui hingga sampai ke jalan utama. Tak lama kamipun masuk jalan raya yang ramai. Lalu-lalang kendaraan menghiasi ramainya jalan ibu kota kabupaten itu. Hanya hitungan menit, kami sampai di depan stasiun.

Sampai di setasiun sayapun turun dari sepeda motor itu. Tak langsung pergi meninggalkan teman yang sudah berbaik hati menghantarkan hingga parkir stasiun. Saya mengucapkan terimakasih, dan menyampaikan beberapa kalimat pemantas yang biasa mengiringi ucapan terimakasih. Tak lama, iapun mohon diri, mengucapkan salam, dan berlalu meninggalkan saya. Saya menjawab salam, kemudian melambaikan tangan, untuk membalas lambaiannya.

Saya berjalan menuju gerbang stasiun. Masuk lorong menuju tap gate untuk menempel kartu. Sampai, kartupun  ditempelkan. Gate terbuka, melewatinya bergegas menuju peron.

Ketika menuju peron, saya melihat ratusan orang berjalan ke arah saya. Mereka  menuju tap gate yang baru saja saya lewati. Ratusan orang yang baru saja dimuntahkan dari perut gerbong commuter line. Akan melawan arus ratusan orang-orang itu, sayapun menepi. Memilih berjalan disisi dengan meniadakan jarak dengan dinding stasiun. Menempelkan badan ke tembok, agar tak bertabrakan dengan orang-orang yang baru saja tiba di stasiun.

Tak berlangsung lama, lorong arah peron kembali lengang. Saya jalan agak cepat menuju commuter line yang beberpa menit kedepan segera berangkat. Pintu commuter line itu terbuka lebar, bahkan di kedua sisinya. Langsung masuk ke dalam kereta yang sudah sarat dengan penumpang. Sabtu sore kereta menuju Jakarta itu nampak penuh, biasanya tak sepenuh itu. Sepertinya di akhir pekan ini banyak orang yang ingin bermalam Minggu di dalam kota Jakarta.

Masih ada beberapa ruas kursi yang bisa saya duduki, meski agak berhimpitan. Kursi dengan balutan kain warna hijau yang nyaman. Melepas lelah setelah seharian penuh duduk di bangku kayu.

Seperti penumpang lain, sayapun membuka handphone saat duduk mulai dirasa nyaman. Scroll turun naik, memeriksa pesan masuk. Beberapa pesan grup dan pribadi langsung dibalas . Setelah membalas beberapa pesan, beralih ke medsos lain. Kereta mulai bergerak setelah info disampaikan nyaring dari sound di dalam commuter line.

Waktu tempuh antara Stasiun Rangkasbitung dengan stasiun yang saya tuju sekitar 80 menit. Biasanya saya mengisi waktu perjalanan dengan memutar beberapa channel youtube. Channel yang diputar sesuai dengan passion, yaitu tema hukum dan politik. Kedua tema itu bisa saya dapatkan dari channel Rafli Harun, FNN, CNN, atau Tv.One.

Penumpang terus saja bertambah, sementara yang turun di tiap pemberhentian hanya beberapa saja. Kereta semakin nampak penuh, hingga duduk terasa tak nyaman.

Sempat terlelap karena lelahnya aktifitas siang ini. Tertidur sambil duduk dan memeluk tas hitam yang selalu dibawa dalam banyak aktifitas pekerjaan. Meski sejenak terlelap, segar sekali rasanya.

Ketika terjaga, kereta semakin terasa sarat dengan penumpang. Banyaknya penumpang yang berdiri, membuat berkereta sedikit taknyaman. Terlebih penumpang yang berdiri lebih berumur dari saya. Rasanya ingin berbagi kursi dengan penumpang itu, tetapi badan terasa sangat lelah. Sebenarnya banyak penumpang lain yang jauh lebih muda dari saya. Mereka duduk di kiri, kanan, dan depan. Harusnya merekalah yang berdiri dan berbagi kursi, bukan saya.

Seorang ibu paruh baya, berdiri dengan memegang erat tas di jinjingnya. Nampak ia lebih berhak duduk di kursi ini dibanding saya. Sebagian wajahnya tertutup masker. Tetapi mata dan dahinya nampak jelas terlihat. Dari sorot mata, dan kerutan yang ada di dahinya, sudah cukup menjelaskan bahwa ia jauh lebih berumur dari saya. Akhirnya kursi nyaman ini saya relakan untuk ibu paruh baya itu.

Saya berdiri dengan tas dipunggung. Meski tas hanya berisi laptop, charger, dan satu buku catatan, terasa bebannya jika dibawa lama berdiri. Hanya beberapa stasiun lagi saya akan turun. Saatnya akan tiba beban yang mulai terasa ini akan usai juga.


Kereta listrik saat ini jauh lebih baik jika dibanding kereta bertenaga diesel dahulu. Kala KRD masih beroprasi, yang ada di dalam gerbong bukan hanya penumpang dan petugas. Ada puluhan pedagang asongan, peminta-minta, dan pengamen. Saat berkereta tak hanya tiket yang harus disediakan, beberapa keping uang logam juga harus ada di dalam saku. Sangat tak nyaman rasanya saat harus berhadapan dengan peminta-minta, dan pengamen di dalam gerbong. Tak jarang raut wajah sinis ditunjukan oleh peminta-minta kepada penumpang yang tak berkenan berbagi koin recehnya. Atau diksi yang membuat tak nyaman diperdengarkan para pengamen saat penumpang tak memasukan uang ke dalam kantung pelastik bekas kemasan permen yang dijulurkannya.

Stasiun Cisauk sudah ditinggalkan commuter line yang saya naiki. Itu artinya saya harus bersiap turun di stasiun kedua setelahnya.

Komentar

  1. Keren, Pak Dadang selaku merekam jejak perjalanan..

    BalasHapus
  2. Sebuah perjuangan tidak akan ada yang mudah, tetapi hasilnya berupa kepuasan batin yang berdampak kemampaatannya untuk anak murid kita. Semangat.... Pak.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolak Ramadhan

Kembali Menanyai

Bertani Dimasa Pandemi